GEOPOLITIK INDONESIA KAWASAN TIMUR

                                  
Dalam kunjungan kehormatan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan ke Lemhannas RI pada 31 Juli 2015, Presiden Erdogan yang juga mantan perdana menteri Republik Turki ini menyampaikan bahwa berbagai peristiwa yang terjadi di sekitar Turki, seperti Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), krisis Yunani, dan gelombang pengungsi Suriah serta Irak, turut menguji dan berdampak atas posisi sentral Turki dikawasannya.
Presiden Erdogan menegaskan bahwa persatuan nasional merupakan elemen utama bagi Turki dalam menyikapi tantangan di kawasan. Menurutnya, menafikan persatuan nasional Turki sama artinya mengesampingkan kemandirian Turki dalam mengelola dan menjawab kenyataan geopolitik Turki.
Pelajaran dari Turki yang dibawa Presiden Erdogan menjadi pelajaran penting bagi Indonesia. Secara geografis, Turki maupun Indonesia, terletak di lokasi strategis pada masing-masing kawasan. merupakan hub yang menghubungkan Asia Tengah, Timur Tengah, Eropa, dan Mediterania.
Adapun Indonesia terletak pada posisi silang karena diapit dua samudra besar, yalau Pasifik dan Hindia, serta dua benua, yakni Australia dan Asia, yang menjadikan Indanesia sebagai traffic dari arus utama perdagangan dunia.
Posisi ini dikenal sebagai posisi silang maut (‘Das Totenkreuz’) karena selain melahirkan potensi kejayaan yang besar bagi bangsa Indonesia, tapi juga rentan konflik.
Sejarah menunjukkan, dari posisi silang maut ini, bumi nusantara senantiasa dibayangi dan dihadapkan pada potensi upaya untuk memecah belah bangsa guna menguasai dan memanfaatkan posisi strategis, kekayaan, dan potensi sumber daya manusia dan alam Indonesia untuk pihak tertentu.
Setiap kali ada dorongan untuk bersatu selalu ada dorongan untuk memecah belah dengan menyebar benih-benih perpecahan dengan berbagai cara dan akal. Perjuangan kemandirian dan persatuan nasional di Indonesia kawasan timur merupakan contoh yang kontekstual dalam hal ini.
Secara konteks historis-geopolitik, kawasan Indonesia timur telah menjadi titik tolak bagi berpijaknya bangsa-bangsa penjajah Eropa dalam melancarkan kolonisasi di nusantara. Saat itu, dengan dasar dorongan permintaan pasar atas rempah-rempah dan kemampuan teknolog1, penjajah Belanda fokus memanfaatkap rakyat nusantara dengan memecah belah (verdeel en heers/divide et impera) untuk menguasai penawaran rempah-rempah dalam perdagangan dunia bagi kepentingan penjajah.
Penjajahan di nusantara bisa terjadi karena lemahnya semangat persatuan sehingga mudah dibiaskan oleh kepentingan yang seolah-olah bersahabat, tapi menjerumuskan.
Kontestasi geopolitik yang sengit atas rempah-rempah antara laggris dan Belanda selaku kekuatan kolonial di nusantaralah yang membuat Pulau Run, pulan kecil penghasil pala di Kepulauan Banda, ditukar guling dengan kawasan Manhattan (di New York) pada April 1667 melalui Perjanjian Breda antara Inggris dan Belanda (sebagaimana ditulis Giles Milton di buku berjudul Nathaniel’s Nutmeg terbitan tahun 1999 yang diterjemahkan menjadi buku berjudul Pulau Run – Magnet Rempah-rempah Nusantara yang Ditukar dengan Manhattan diterbitkan Pustaka Alvabet 2015).
Para pendiri bangsa sangat menyadari pentingaya kesatuan geopalitik Indonesia untuk keselamatan dan kermerdekaan nasional yang berkelanjutan, baik secara de jure maupun de facto. Hal ini jelas tercatat dalam risalah sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), di mana salah satu pionir yang lantang menyuarakannya adalah Mr Muhammad Yamin.
Di awal era pascakemerdekaan, konsentrasi penduduk yang rendah di kawasan Indonesia timur dimanfaatkan untak menyu burkan benih perpecahan. Hal ini terlihat dari upaya mencerabut kawasan Indonesia timur dari kesatuan geopolitik Indonesia.
Peristiwa kembalinya Irian Barat (sekarang Papua) ke dalam pangkuan Ibu Pertiwi dapat dimaknai sebagai suatu kemenangan geopolitik bagi seluruh manusia nusantara. Kemenangan besar tersebut menjadi nyata karena kerasnya keyakinan dan usaha para putra terbaik nusantara dari timur Indonesia, seperti Johannes Abraham Dimara yang di fasilitasi oleh kepiawaian diplomasi Bung Karno.
Daoed Jusuf dalam bukunya yang berjudul, Studi Strategi: Logika Ketahanan dan Pembangunan Nasional, menyampaikan sebagai berikut, “… bahwa Papua bertakdir menjadi Rimland di kawasan Indonesia bagian timur sebagai serambi nasional penampung awal gelombang kegiatan bisnis internasional di Laut Cina Selatan, baik yang bersifat damai maupun topan peperangan.”
Dari sudut pandang geopolitik Indonesia, Papua dan Maluku berperan bagai “Jantung Tanah Air”, sementara inland sea dari kenusantaraan Indonesia dan Kepulauan Sunda Besar serta Sunda Kecil menjadi arterinya. Maka itu, Papua, satu-satunya pulau terbesar di Pasifik yang bersebelahan dengan Melanesia dan Polynesia, selalu menjadi target untuk memecah kesatuan geopolitik Indonesia.
Bila demikian, maksim geopolitik Indonesia selaku negara maritim adalah siapa menguasai Papua dan Maluku berarti menguasai jantung arsipel Indonesia, siapa menguasai jantung arsipel Indonesia akan menguasai arterinya, dan siapa yang menguasai arteri itu akan berdaulat atas keseluruhan negara bangsa Indonesia. Maksim ini sebaiknya menjadi rujukan dalam penjabaran konsep geostrategi dan geopolitik dari strategi maritim. (2014:hlm. 102-103).”
Bait syair pujangga Empu Tantular dalam kitab Sutasoma “Bhinneka Tunggal Ika tan Hanna Dharmma Mangrva” yang dipetik intinya oleh para pendiri bangsa menjadi “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai semboyan yang tertulis di pita lambang Garuda Pancasila, perlu direnungkan dan dimaknai dengan sungguh-sungguh agar dapat membantu bangsa Indonesia dalam membaca konstelasi dan kontestasi geopolitik di bumi nusantara.
Dengan demikian, benih-benih perpecahan yang dapat memecah kesatuan geopolitik bangsa sekiranya perlu dicegah sedini mungkin melalui penguatan persatuan nasional dengan menyadarkan manusia nusantara untuk mampu membaca pergolakan kepentingan global. Kawasan Indonesia timur memiliki peran sentral sebagai jantung Tanah Air dan salah satu pusat peradaban Indonesta.

Oleh karena itu, penguatan persatuan nasional untuk menjadi bangsa yang terhormat dan mandiri harus terus dikokohkan dengan fondasi kemanusiaan dan keadilan sosial dalam keragaman.
Oleh: Budi Susilo Soepandji Guru Besar Universitas Indonesia, Bekerja di Lemhannas RI

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KRITIK ARSITEKTUR NORMATIF DENGAN METODE DOKTRIN

PENJABARAN HAK ASASI MANUSIA DALAM UUD 1945

Kawasan Kota Lama di Bandung